Sabtu, 27 November 2010

Hubungan Kebudayaan dan Status Gizi

Malnutrisi pada anak erat kaitannya dengan kemiskinan dan kebodohan serta adanya faktor budaya yang memengaruhi pemberian makanan tertentu meski belum layak dikonsumsi di usianya. Banyaknya anak-anak penderita kekurangan gizi dan gizi buruk di sejumlah wilayah di Tanah Air disebabkan ketidaktahuan orangtua akan pentingnya gizi seimbang.

Faktor budaya sangat berperan penting dalam status gizi seseorang. Budaya memberi peranan dan nilai yang berbeda terhadap pangan dan makanan.Misalnya tabu makanan yang masih dijumpai di beberapa daerah. Tabu makanan yang merupakan bagian dari budaya menganggap makanan makanan tertentu berbahaya karena alasan-alasan yang tidak logis. Hal ini mengindikasikan masih rendahnya pemahaman gizi masyarakat dan oleh sebab itu perlu berbagai upaya untuk memperbaikinya. Pantangan atau tabu adalah suatu larangan untuk mengonsumsi suatu jenis makanan tertentu karena terdapat ancaman bahaya atau hukuman terhadap yang melanggarnya. Dalam ancaman bahaya ini terdapat kesan magis yaitu adanya kekuatan supernatural yang berbau mistik yang akan menghukum orang-orang yang melanggar pantangan atau tabu tersebut.

Di Bogor masih ada yang percaya bahwa kepada bayi dan balita laki-laki tidak boleh diberikan pisang ambon karena bisa menyebabkan alat kelamin/skrotumnya bengkak. Balita perempuan tidak boleh makan pantat ayam karena nanti ketika mereka sudah menikah bisa diduakan suami. Sementara di Indramayu, makanan gurihyang diberikan kepada bayi dianggap membuat pertumbuhannya menjadi terhambat. Untuk balita perempuan, mereka dilarang untuk makan nanas dan timun. Selain itu balita perempuan dan laki-laki juga tidak boleh mengonsumsi ketan karena bisa menyebabkan anak menjadi cadel. Mereka menganggap bahwa tekstur ketan yang lengket menyebabkan anak tidak bisa menyebutkan aksara ‘r’ dengan benar.

Sementara di Indramayu, makanan gurih yang diberikan kepada bayi dianggap membuat pertumbuhannya menjadi terhambat. Untuk balita perempuan, mereka dilarang untuk makan nanas dan timun. Selain itu balita perempuan dan laki-laki juga tidak boleh mengonsumsi ketan karena bisa menyebabkan anak menjadi cadel. Mereka menganggap bahwa tekstur ketan yang lengket menyebabkan anak tidak bisa menyebutkan aksara ‘r’ dengan benar.

Jenis makanan pantangan bagi wanita dan laki-laki dewasa lebih banyak karena alasan yang menyangkut dengan organ reproduksi/hubungan seksual suami istri. Hal ini berlaku pada sebagian besar penduduk di Bogor dan Indramayu. Makanan tersebut kebanyakan adalah sayur dan buah yang banyak mengandung air, misalnya nanas, pepaya, semangka, timun, dan labu siam. Jenis makanan tersebut dianggap bisa menyebabkan keputihan yang akhirnya dapat mengganggu keharmonisan hubungan suami dan istri. Sementara untuk laki-laki dewasa, baik di Bogor dan Indramayu memiliki suatu kepercayaan bahwa laki-laki dewasa dilarang makan terung, karena membuat mereka lemas dan mudah lelah.

Selain itu unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan (Khumaidi, 1989). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa kebiasaan makan individu atau kelompok individu adalah memilih pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, sosial dan budaya.

Tiga faktor terpenting yang mempengaruhi kebiasaan makan adalah ketersediaan pangan, pola sosial budaya dan faktor-faktor pribadi (Harper et al., 1986). Hal yang perlu diperhatikan dalam mempelajari kebiasaan makan adalah konsumsi pangan (kuantitas dankualitas), kesukaan terhadap makanan tertentu, kepercayaan, pantangan, atau sikap terhadap makanan tertentu (Wahyuni, 1988). Khumaidi (1989) menyatakan bahwa dari segi gizi, kebiasaan makan ada yang baik atau dapat menunjang terpenuhinya kecukupan gizi dan ada yang buruk (dapat menghambat terpenuhinya kecukupan gizi), seperti adanya pantangan atau tabu yang berlawanan dengan konsep-konsep gizi. Menurut Williams (1993), masalah yang menyebabkan malnutrisi adalah tidak cukupnya pengetahuan gizi dan kurangnya pengertian tentang kebiasaan makan yang baik. Kebiasaan makan dalam rumahtangga penting untuk diperhatikan, karena kebiasaan makan mempengaruhi pemilihan dan penggunaan pangan dan selanjutnya mempengaruhi tinggi rendahnya mutu makanan rumahtangga.

Kebiasaan makan yang terbentuk sejak kecil dapat dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain perbedaan etnis, tingkat sosial ekonomi, geografi, iklim, agama dan kepercayaan serta tingkat kemajuan teknologi (Wardiatmo, 1989). Kebiasaan makan banyakdipengaruhi oleh variabel lingkungan. Pilihan dan kegunaan makanan yang ada adalah merupakan komponen ekologi. Studi tentang konsumsi pangan di daerah pedesaan menunjukkan adanya keterkaitan antara tingkat konsumsi masyarakat dengan zona ekologi (Annegers, 1973 dalam den Hartog, 1995).

Menurut den Hartog (1995) kebiasaan makan dapat dibentuk oleh lingkungan sekitar dimana seseorang hidup. Adapun beberapa variabel lingkungan yang berpengaruh terhadap kebiasaan makan suatu masyarakat adalah lingkungan hidup yang meliputi topografi, keadaan tanah, iklim, dan flora, lingkungan budaya (sistem produksi pertanian) dan populasi (kelahiran, kematian, migrasi, pertambahan penduduk, umur dan jenis kelamin).

Oleh karena itu, penyuluhan gizi penting untuk terus menerus dilakukan untuk memperbaiki pengetahuan gizi dan kebiasaan makan masyarakat. Penyuluhan gizi menjadi landasan terjadinya perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Kelembagaan penyuluhan gizi seperti Posyandu perlu lebih diperkuat sehingga aktivitas penyuluhan tidak terabaikan.


Referensi :

http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/09145/mazarina_devi.pdf

http://suyatno.blog.undip.ac.id

Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar